Minggu, 18 Januari 2009

Eksistensi Bahasa Indonesia untuk Meningkatkan Rasa Nasionalisme

…kami poetra poetri Indonesia mendjoendjoeng tinggi bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928
Malam 28 Oktober 1928, lebih dari 700 orang yang terdiri dari wakil-wakil perkumpulan pemuda hadir dalam rapat akbar, Kongres Pemuda II, menyuarakan sumpah setia mereka yang terkenal hingga saat ini, Sumpah Pemuda. Tidak hanya rangkaian kata melainkan janji yang disusun dengan rasa nasionalisme dan patriotisme yang tinggi, sumpah ini kemudian menjadi landasan untuk mencapai Indonesia merdeka.


Begitu bangganya pemuda-pemudi Indonesia masa itu menjadi bangsa Indonesia yang ikut ambil bagian dalam memperjuangkan Bahasa Indonesia. Bahasa yang dipercaya dapat mempersatukan seluruh rakyat di berbagai pelosok daerah. Bahasa ini pula yang dipakai untuk mengorbankan semangat para pejuang dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Patutlah bila kita bangga menggunakan Bahasa Indonesia, tidak hanya sebagai bahasa resmi pada instansi-instansi pemerintah atau pada lembaga-lembaga pendidikan formal, namun hendaknya penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar merambah hingga ke bahasa pergaulan sehari-hari.


Kecewa! Mungkin itu yang dirasakan para pejuang dahulu yang telah bersusah payah memerdekakan Bahasa Indonesia sehingga menjadi bahasa nasional seperti saat ini. Rasa bangga yang dulu melekat kuat kini perlahan mulai menguap. Sumpah Pemuda yang diserukan dengan penuh rasa cinta tanah air, kini hanya menjadi rangkaian kata yang dihafalkan menjelang ulangan.


Berlandaskan alasan globalisasi dan prestise, masyarakat mulai kehilangan rasa bangga menggunakan bahasa masional. Tidak hanya pada rakyat kecil, ‘krisis bahasa’ juga ditemukan pada para pejabat negara. Kurang intelek katanya kalau dalam setiap ucapan tidak dibumbui selingan bahasa asing yang sebenarnya tidak perlu, karena toh istilah itu juga ada dalam Bahasa Indonesia.


Tidak mau ketinggalan, rumah makan saat ini pun banyak yang menggunakan nama dalam bahasa asing. Tujuannya supaya tampak tidak ketinggalan zaman dan mendatangkan lebih banyak konsumen. Sebut saja Waroeng Steak n Shake, kata pertama menggunakan Bahasa Indonesia dalam ejaan lama, sedangkan kata berikutnya dalam Bahasa Inggris.


Sulit dipungkiri memang, bahasa asing kini telah menjamur penggunaannya. Mulai dari judul film, judul buku, judul lagu, sampai pemberian nama merk produk dalam negeri. Kita pun merasa lebih bangga jika lancar dalam berbicara bahasa asing. Namun, apapun alasannya, entah itu menjaga prestise, mengikuti perkembangan zaman, ataupun untuk meraup keuntungan, tanpa kita sadari secara perlahan kita telah ikut andil dalam mengikis kepribadian dan jati diri bangsa kita sendiri.


Seolah tidak lepas dari kian maraknya penyusupan istilah-istilah asing yang menggerogoti bahasa nasional, penggunaan Bahasa Indonesia yang tidak tepat pun ikut merusak tatana bahasa yang telah diatur sedemikian rupa. Tidak tepat maksudnya tidak sesuai dalam hal ejaan, struktur, maupun konteks kalimat.


Ketidaksesuaian ini banyak ditemukan pada iklan-iklan berbagai produk yang sering kita jumpai. Kata-kata yang ditata sedemikian rupa sengaja tidak mengikuti kaidah Bahasa Indonesia yang ada, tujuannya agar lebih persuasif dan menarik minat pembaca. Tidak salah memang, tetapi jika ini menjadi kebiasaan yang terus-terusan tentu akan membuat kita sulit membedakan mana yang sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta mana yang tidak. Hal ini akan berujung pada rusaknya Bahasa Indonesia itu sendiri. Bukankah kita seharusnya melindungi bahasa ibu dan bukan merusaknya demi kepentingan pribadi atau meraup keuntungan?


Menilik kesuksesan negara-negara besar yang bangga akan bahasa nasional mereka sendiri, sudah sepatutnya kita meniru salah satu sifat mulia tersebut. Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki kepribadian. Di mana letak kepribadian bangsa Indonesia jika masyarakat sendiri lebih bangga menggunakan bahasa asing?


Globalisasi memang tidak dapat dihindari. Akulturasi bahasa nasional dengan bahasa dunia pun menjadi lebih terasa perannya. Menguasai bahasa dunia dinilai sangat penting agar dapat bertahan di era modern ini.


Namun sangat disayangkan jika masyarakat menelan mentah-mentah setiap istilah-istilah asing yang masuk dalam Bahasa Indonesia. Ada baiknya jika dipikirkan dulu penggunaannya yang tepat dalam setiap konteks kalimat. Sehingga penyusupan istilah-istilah tersebut tidak terlalu merusak tatanan bahasa nasional.


Penanaman rasa cinta tanah air yang dimulai sejak dini bisa menjadi salah satu solusi menghadapi ‘krisis bahasa’ saat ini. Dari sekian banyaknya hal yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia, bahasa nasional adalah salah satunya. Tidak peduli agama apapun, suku apapun, ras apapun, kita merasa dipersatukan oleh bahasa yang sama, Bahasa Indonesia. Mengingat perannya yang begitu besar, sudah sepatutnya kita menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia, seperti yang tertuang dalam Sumpah Pemuda.


Meningkatkan rasa cinta pada Bahasa Indonesia secara otomatis meningkatkan rasa cinta tanah air. Kebanggaan menggunakan bahasa nasional melebihi bahasa internasional akan meningkatkan rasa nasionalisme. Sehingga tidak berlebihan jika bahasa diharapkan sebagai salah satu media untuk meningkatkan rasa nasionalisme.


Karya-karya sastra yang dilahirkan oleh sastrawan Indonesia hendaknya tidak hanya memikirkan kepentingan pribadi semata atau sekedar konsumsi yang menarik bagi pembaca, namun sebaiknya juga memikirkan dampaknya bagi masyarakat terutama dalam penggunaan bahasanya yang tepat. Karya sastra yang beredar sedapat mungkin dimanfaatkan untuk meningkatkan rasa cinta pada Bahasa Indonesia serta membenahi penggunaan istilah-istilah yang kurang tepat, bukan menjadi media yang memberi kontribusi dalam perusakan tatanan bahasa. Patut diakui, sastrawan-sastrawan Indonesia telah berhasil menelurkan karya-karya cerdas yang menarik perhatian masyarakat. Sebut saja tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, Ayat-ayat Cinta dan dwilogi Ketika Cinta Bertasbih oleh Habiburrahman el Shirazy, yang kini banyak diminati oleh pembaca. Ketatnya persaingan karya sastra dalam negeri dengan karya sastra terjemahan, seharusnya bisa menjadi pemicu untuk lebih mengembangkan sastra dalam negeri. Novel-novel dan sastra asing memang pada akhirnya akan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, namun dilihat dari segi struktur kalimatnya, kedua bahasa tersebut tidak dapat disamakan. Dampaknya, akan ada bagian-bagian atau kalimat-kalimat yang terjemahannya terkesan dipaksakan meskipun tidak sesuai dengan struktur kalimat Bahasa Indonesia. Menghindari pemaksaan yang merusak struktur kalimat Bahasa Indonesia, sastrawan dalam negeri dituntut untuk dapat melahirkan karya-karya yang mampu bersaing dengan ‘sastra impor’. Sehingga diharapkan pembaca akan lebih banyak mengkonsumsi sastra dalam negeri dibandingkan dengan sastra terjemahan.

Karya sastra yang dirangkai dengan Bahasa Indonesia yang baik dan dikemas dengan menarik, tentu dapat meningkatkan rasa nasionalisme, terutama cinta pada Bahasa Indonesia. Jika dilakukan dengan benar, sastra yang dilahirkan melalui Bahasa Indonesia bisa menjadi media utama meningkatkan rasa cinta pada tanah air. Sesuai isi Sumpah Pemuda, sebagai pemuda-pemudi Indonesia sudah sepatutnya kita turut menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Namun mampukah kita menjaga sumpah setia itu? Jika bukan kita yang bangga berbahasa Indonesia, siapa lagi?

1 komentar:

  1. Setuju sekali kak! Minta izin untuk dijadikan referensi ya.
    Sukses selalu :)

    BalasHapus