Sabtu, 14 Februari 2009

Filosofi Kehilangan

Normalnya seorang anak lahir dengan 2 pasang kakek-nenek. Ketika aku lahir, kakek dari pihak ayahku sudah lama meninggal. Lima tahun sejak kelahiranku, nenekku menyusul beliau. Waktu itu adikku baru saja lahir, sehingga aku terlalu senang—dan masih terlalu kecil—untuk merasa kehilangan.
Ketika aku menginjak kelas 2 SMP kakekku satu-satunya tiba-tiba jatuh sakit.

‘Penyakit tua’, begitu ibuku menyebutnya. Sudah wajar sebenarnya, mengingat usia beliau waktu itu hampir 90. Setelah di rawat di rumah sakit selama 3 hari, beliau meninggal.
Bisa kuingat dengan jelas hari itu, aku menolak ajakan pulang saudaraku—yang sengaja datang ke sekolah untuk mengabarkan sekaligus menjemputku—dengan alasan aku tidak bisa naik motor mengenakan rok span, tapi mungkin alasan sebenarnya adalah karena aku tidak suka orang lain melihatku sedih. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang sendiri. Aku merasa sangat kehilangan, membayangkan lebaran tahun itu dan tahun-tahun berikutnya tak akan sama lagi tanpa kakekku. Sedih, tapi aku berusaha untuk tidak menangis.
Aku sedih kakekku tidak berumur panjang, tapi mamaku pernah bilang, umur panjang bukan berarti secara fisik kita bisa hidup sangat lama dengan kenikmatan yang dicabut sedikit demi sedikit. Umur panjang adalah ketika seseorang bisa hidup nyaris abadi dalam ingatan orang lain yang terus mengenang kebaikan dan jasa-jasa semasa hidupnya. Itulah pelajaran baru yang kutemukan. Aku tahu dengan terus mengingat dan mendoakan almarhum kakekku, beliau akan berumur lebih panjang dari yang terlihat dan aku tidak perlu merasa kehilangan lagi.


1 komentar:

  1. Waah, sedihnya..
    Aku belum pernah merasa kehilangan kakek-nenek..
    Gimana ya rasanya? hmf..

    Maen" ke blog saya ya..
    lewat www.ekspresia.co.cc aja.. okey?

    BalasHapus